KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro).
Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro
nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif
dalam upaya penurunan prevalensi KEP.
Penyakit akibat KEP ini dikenal dengan Kwashiorkor,
Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang
protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan Manismic Kwashiorkor
disebabkan karena kurang energi dan protein. KEP umumnya diderita oleh balita
dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami
Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung
dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami Marasmus adalah
badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit.
Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya
KEP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada orang
dewasa, KEP timbul pada anggota keluarga rumahtangga miskin olek karena
kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian. Bentuk berat dari
KEP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar
atau HO (Honger Oedeem).
Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini
terdapat ± 1 milyar penduduk dunia yang kekurangan energi sehingga tidak mampu
melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu masih ada ± 0,5 milyar
orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas minimal dan
pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara
normal.
Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan
kelaparan merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I
dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu
tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan
pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan
sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk
meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara
eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat.
Kurang
energi protein (KEP) yaitu seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi protein dalam makan sehari-hari dan atau gangguan
penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Kurang
energy protein merupakan keadaan kuang gizi yang disebakan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
angka kecukupan gizi (Depkes 1999). KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi
KEP tanpa gejala klinis dan KEP dengan gejala klinis. Secara garis besar tanda
klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor
DETERMINAN KURANG ENERGI PROTEIN
Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit
infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga
karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga
pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya
dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat
mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi/gizi buruk.
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan
tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food security)
adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola
pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu,
perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan
sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan dan
kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga
faktor ini saling berhubungan. Ketiga factor penyebab tidak langsung saling
berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan keterampilan keluarga.
Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin baik
tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin
banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, demikian juga
sebaliknya.
Ketahanan pangan keluarga terkait dengan
ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau
sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang
gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu (ASI) adalah makanan bayi utama
yang seharusnya tersedia di setiap keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini
seharusnya dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut sehinggatidak perlu dibeli.
Namun tidak semua keluarga dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh
karena berbagai masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI
atau diberi ASI dalam jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan
makanan pendamping ASI (MP-ASI). Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab,
misalnya kurangnya pengetahuan dan atau kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak
memenuhi persyaratan. Dalam keadaan demikian, dapat dikatakan ketahanan pangan
keluarga ini rawan karena tidak mampu memberikan makanan yang baik bagi bayinya
sehingga berisiko tinggi menderita gizi buruk.
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu
atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan,
merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya
berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi,
pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang
baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat
kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh
anak.
Pelayanan kesehatan, adalah akses atau
keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan
pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana
kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter,
rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan
(karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan
pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik
pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status
gizi anak.
Berbagai faktor langsung dan tidak langsung
penyebab gizi kurang, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan
akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain
berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan
ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta
ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia.
Perilaku :
Ketahanan
pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan konsumsi
makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan 40-50% rumah tangga
mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi
protein 32 gram per orang per hari atau mengkonsumsi <70% dari kecukupan
yang dianjurkan. (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan
SP 2000, diperkirakan jumlah rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah
ketahanan pangan melanda 20-25 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada
perbaikan pada tahun 2003 terhadap ketahanan pangan rumah tangga, kajian ini
masih menujukkan rasio pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total keluarga
yang masih tinggi. Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20% kabupaten di
perdesaan dimana rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio
pengeluaran pangan/non pangan antara 65-75%.
Lingkungan :
Kajian
kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan 2003 dengan
menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih, rumah tangga
dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa sanitasi. Figure 22 menunjukkan
tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996 ke tahun 2003 hampir di
seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah Indonesia
Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir
40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa
sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari
tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses air bersih.
Kependudukan :
Tingginya
angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan
pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi yang
masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita antara
lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997 prevalensi ISPA tidak
menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT 2001 prevalensi
ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994 dan 1997 juga
tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing 11%, 12% and 10%;
dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%.
Pelayanan kesehatan :
Cakupan
program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang tidak
berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari jumlah
balita yang ada.Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor
pemerintah dan non-pemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian
juga pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun).
- PENYEBAB KEP
- Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat
- Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi
karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorpsi dan/atau peningkatan
kehilangan protein maupun energi dari tubuh
INDIKATOR KURANG ENERGI PROTEIN
(KEP)
KEP berdasarkan kriteria KMS
dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) KEP ringan, bila berat badan menurut umut
(BB/U) 70%-80% baku median WHO-NCHS dan atau berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) 70%-80% baku median WHO-NCHS. (2) KEP sedang, bila berat badan menurut
umur (BB/U) 60%-70% baku median WHO-NCHS dan atau berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) 60%-70% baku median WHO-NCHS. (3) KEP berat, bila berat badan
menurut umur (BB/U) < 60% baku median WHO-NCHS dan atau berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) < 60% baku standar WHO-NCHS.
Manifestasi KEP klinis (WHO,2000):
Manifestasi KEP klinis dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Marasmus terjadi bila gizi utama yang kurang adalah kalori atau karbohidrat,
sedangkan kwashiorkor terjadi bila gizi utama yang kurang adalah protein.
Sementara itu, marasmic-kwashiorkor merupakan kombinasi keduanya, yaitu
kekurangan kalori dan protein. Adapun gejala klinisnya (KEP berat) yakni
sebagai berikut:
Marasmus
|
Kwashiorkor
|
Marasmus-Kwashiorkor
|
|
|
Gabungan dari marasmus dan
kwashiorkor
|
Gejala klinis KEP ringan:
·
Pertumbuhan mengurang atau berhenti
·
BB berkurang, terhenti bahkan turun
·
Ukuran lingkar lengan menurun
·
Maturasi tulang terlambat
·
Rasio berat terhadap tinggi normal
atau menurun
·
Tebal lipat kulit normal atau
menurun
·
Aktivitas dan perhatian kurang
·
Kelainan kulit dan rambut jarang
ditemukan
PIDEMIOLOGI KURANG ENERGI PROTEIN
Masalah
KEP (Kekurangan Energi dan Protein) di Sulawesi Selatan masih menjadi masalah
gizi utama yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Menurut hasil
Susenas tahun 2003 prevalensi gizi kurang tingkat nasional adalah 19,19% dan
gizi buruk 8,31%. Hasil Survei Gizi Mikro tingkat Sulawesi Selatan Tahun 2006
menunjukkan balita yang menderita gizi kurang 24,4% dan gizi buruk 9,6% (Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2006 a). Data dasar kegiatan TGP (Tenaga
Gizi Pendamping) tahun 2006 menunjukkan bahwa balita yang menderita gizi kurang
sebanyak 18,8% dan gizi buruk 9,7% (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan,
2006 b). Jumlah balita yang menderita KEP di Kecamatan Mangarabombang Takalar
tahun 2006 mencapai 33,7%, yaitu gizi buruk 12,5% dan gizi kurang 22,2% (Dinas
kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2006).
Negara
|
Gizi kurang
(BB/U <-2SD) (%)
|
Gizi(pendek-normal)
(TB/U < -2SD) (%)
|
/BBLR
(%)
|
Bangladesh
|
47.8
|
44.8
|
30.0
|
India
|
47.0
|
45.6
|
25.5
|
Cambodia
|
45.9
|
46.0
|
8.9
|
Pakistan
|
38.2
|
-
|
21.4
|
Myanmar
|
36.0
|
37.2
|
16.0
|
Vietnam
|
33.1
|
36.4
|
8.9
|
Srilangka
|
33.0
|
17.0
|
17.0
|
Indonesia
|
26.1
|
45.6
|
7.7
|
Thailand
|
18.6
|
16.0
|
7.2
|
Malaysia
|
18.3
|
-
|
-
|
China
|
9.6
|
16.7
|
5.9
|
Prevalensi
nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah
13,0%. Secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi
Kurang pada Balita tertinggi berturut-turut adalah :
Aceh
Tenggara (48,7%), Rote Ndao (40,8%), Kepulauan Aru (40,2%), Timor Tengah
Selatan (40,2%), Simeulue (39,7%),Aceh Barat Daya (39,1%), Mamuju Utara
(39,1%), Tapanuli Utara (38,3%), Kupang (38,0%), dan Buru (37,6%). Sedangkan 10
kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita
terendah adalah : Kota Tomohon (4,8%),Minahasa (6,0%), Kota Madiun (6,8%),
Gianyar (6,8%), Tabanan (7,1%), Bantul (7,4%), Badung (7,5%), Kota Magelang
(8,2%), Kota Jakarta Selatan (8,3%), dan Bondowoso (8,7%).
PENCEGAHAN KURANG ENERGI PROTEIN
Pelayanan
gizi balita KEP pada dasarnya setiap balita yang berobat atau dirujuk ke rumah
sakit dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan dan lila untuk menentukan
status gizinya, selain melihat tanda-tanda klinis dan laboratorium. Penentuan
status gizi maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut :
- Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan
nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana pasien rawat jalan,
dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan
terus diberi ASI sampai 3 tahun.
- Balita KEP sedang; (a) Penderita rawat jalan :
diberikan nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI dan
pantau terus berat badannya. (b) Penderita rawat inap : diberikan makanan
tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi 20-50% diatas kebutuhan
yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan
penyakitnya.
- Balita KEP berat : harus dirawat inap di RS dan
dilaksanakan sesuai pemenuhan kebutuhan nutrisinya.
Kegiatan penanggulangan KEP balita
meliputi :
Penjaringan
balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita beradsarkan berat
badan dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada
saat itu.Cara penjaringan yaitu balita dihitung kembali umurnya dengan tepat
dalam hitungan bulan, balita ditimbang berat badannya dengan menggunakan
timbangan dacin, berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil pengukuran BB
tersebut tentukan status gizi dengan KMS atau standar antropometri.
Kegiatan
penanganan KEP balita meliputi program PMT balita adalah program intervensi
bagi balita yang menderita KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat
gizi balita gar meningkat status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau
dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya
sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya, asuhan
kebidanan/keperawatan yaitu untuk memberikan bimbingan kepada keluarga balita
KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga dapat mencapai status gizi yang baik
melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga agar bisa dilaksanakan
secara berkala, suplementasi gizi/ paket pertolongan gizi hal ini diberikan
untuk jangka pendek. Suplementasi gizi meliputi : pemberian sirup zat besi;
vitamin A (berwarna biru untuk bayi usia 6-11 bulan dosis 100.000 IU dan
berwarna merah untuk balita usia 12-59 bulan dosis 200.000 IU); kapsul minyak
beryodium, adalah larutan yodium dalam minyak berkapsul lunak, mengandung 200
mg yodium diberikan 1x dalam setahun.
Balita KEP
ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah
(bilamana pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi
umur < 4 bulan) dan terus diberi ASI sampai 3 tahun.
Balita KEP
sedang;
- Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian
makanan dan vitamin serta teruskan ASI dan pantau terus berat badannya.
- Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi energi
dan protein, dengan kebutuhan energi 20-50% diatas kebutuhan yang
dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya
PENANGGULANGAN KURANG ENERGI PROTEIN
Untuk KEP tanpa gejala klinis,
secara umum cukup memperbaiki intake makanan yang masuk kedalam tubuh. Untuk
KEP dengan gejala klinis (Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor)
dapat ditangulangi dengan penatalaksanaan sebagai berikut :
Prosedur tetap pengobatan dirumah
sakit :
1. Prinsip dasar penanganan 10
langkah utama (diutamakan penanganan kegawatan)
1.1. Penanganan hipoglikemi
1.2. Penanganan hipotermi
1.3. Penanganan dehidrasi
1.4. Koreksi gangguan keseimbangan
elektrolit
1.5. Pengobatan infeksi
1.6. Pemberian makanan
1.7. Fasilitasi tumbuh kejar
1.8. Koreksi defisiensi nutrisi
mikro
1.9. Melakukan stimulasi sensorik
dan perbaikan mental
1.10. Perencanaan tindak lanjut
setelah sembuh
2. Pengobatan penyakit penyerta
1. Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan
vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan 14 atau sebelum keluar rumah sakit bila
terjadi memburuknya keadaan klinis diberikan vit. A dengan dosis :
* umur > 1
tahun
: 200.000 SI/kali
* umur 6 – 12
bulan : 100.000 SI/kali
* umur 0 – 5
bulan
: 50.000 SI/kali
Bila ada ulkus dimata diberikan :
·
Tetes mata khloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3 jam selama
7-10 hari
·
Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari
·
Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya :
hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit mengelupas), lesi ulcerasi
eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksi sekunder, antara lain
oleh Candida.
Tatalaksana :
1.
kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4 (K-permanganat) 1%
selama 10 menit
2.
beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
3.
usahakan agar daerah perineum tetap kering
4.
umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
3. Parasit/cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali
sehari selama 3 hari, atau preparat antihelmintik lain.
4. Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut
dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa.
Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari
melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri :
Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk,
lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila
positip atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB.
3. Tindakan kegawatan
1.
Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis
sering menyertai KEP berat dan sulit membedakan keduanya secara klinis
saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik
dengan cepat pada pemberian cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa
dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan :
Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl
0.9% (1:1) atau larutan Ringer dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB
dalam satu jam pertama.
Evaluasi setelah 1 jam :
§
Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan) dan status
hidrasi ® syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas
untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal/pengganti,
per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan
formula khusus (F-75/pengganti).
§
Bila tidak ada perbaikan klinis ® anak menderita syok septik. Dalam hal ini,
berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah
sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah
pemberian formula (F-75/pengganti)
2.
Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila :
- Hb < 4 g/dl
- Hb 4-6 g/dl disertai distress pernapasan atau tanda
gagal jantung
Transfusi darah :
Ø
Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
Bila ada tanda gagal jantung,
gunakan ’packed red cells’ untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Ø Beri
furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi
(demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak dengan distres napas setelah
transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian
darah.
kekurangan protein lambat laun akan menjadikan gizi tidak seimbang, bisa menjadi cikal bakal penyakit.
BalasHapuscara menghilangkan bekas jerawat, cara mengatasi maag
Ko bisa ya kekurangan protein padahal Indonesiaku sangat kaya
BalasHapus